Selasa, 12 Agustus 2014

Hidup & Kehidupan Adrian Mamahit yang tidak pernah bulat…

Saya dilahirkan dalam keluarga Mamahit-Manahampy di Makassar yang dulunya dikenal dengan kota Ujung Pandang. Saya yang memiliki nama lengkap Adrian Mamahit, lahir dari keluarga yang  sederhana dengan nama orangtua Pelly Mamahit dan Nelly Manahampy. Anak kedua dari empat bersaudara ini menikmati masa Taman Kanak-Kanaknya di TK Frater Bakti Luhur dan melanjutkan Sekolah Dasar di SD Frater Bakti Luhur serta Sekolah Menengah Pertamanya di SMP Frater Tamhrin Makassar. Pada tahun 2003, saya melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMU Dian Harapan Makassar.

Thesis Statement Adrian Mamahit : “Melihat Trinitarian Dari Prespektif Angka Tiga,Sebab Melalui Angka Tiga Dipahami Sebagai Sintesis Yang Merangkul Dalam Mengantarkan Para Pengikut Ajaran Kasih Untuk Memahami Keberadaan Yang Realitas Itu Di Dalam Kehidupan Bergaul Dan Memiliki Rasa Tanggung Jawab Dengan Para Umat Yang Lain”.

            Angka-angka adalah 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan seterusnya. Namun,sadarkah kita terhadap keistimewaan bilangan ganjil ? Setelah saya telaah bilangan ganjil dalam hal ini angka tiga merupakan angka yang bisa mengantarkan seseorang untuk menuju kesempurnaan. Sesuatu yang sempurna, pastilah impian semua orang karena itulah semua orang mengidam-idamkan sesuatu yang sempurna tersebut. Berdasarkan sejarah, angka-angka yang kita kenal sekarang merupakan angka-angka Arab, sebab orang-orang Arab tak lama sesudah kemunculan agama Islam yang menghasilkan tradisi Islam yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan itu satu. Pemikiran tentang angka-angka ini dikembangkan oleh Pythagoras, ia merupakan ilmuan yang rumus-rumus matematikanya masih dipakai sampai sekarang. Konon pemikirannya Pythagoras tentang keteraturan sangat berdampak bagi keagamaan pada saat itu. Sebab menurut Pythagoras,segala sesuatu ini sangat teratur, seperti keteraturan musical, keteraturan matematis, keteraturan kosmos dan terakhir keteraturan etis dan sosial ( Schimmel:25) selalu ada dalam kehidupan manusia. Oleh karena itulah pasti ada sesuatu yang memiliki kuasa untuk mengatur itu semua. Bahkan, menurut Pythagoras interval tangga nada berhubungan dengan panjang relatif  vibrasi senar dengan perbandingannya 1:2, 2:3, dan 3:4, dengan dimikan jika harmoni musical dapat diekspresikan dalam rumus-rumus matematika dengan cara menghitung perbandingan senar,maka esensi dari segala sesuatu pun sepertinya bisa diungkapkan dengan angka-angka (Schimmel:25-26).

Adrian Mamahit melihat adanya "Ultimate" berdasarkan pengalaman dalam Kisah Para Rasul 4:12

Pergumulan yang sering kita temui dalam dunia yang fana ini adalah pertemuan dengan keanekaragaman. Dalam hal ini, kita sering tidak memahaminya untuk itu kita coba melihat keanekaragaman dari sudut pandang Mark Heim yang menurut Paul F.Knitter merupakan penulis yang menulis dari hati. Bagi Mark Heim, kemungkinan untuk mencapai(mendekati) keseimbangan adalah model penerimaan, untuk itulah penerimaan dalam hal ini dilihat berdasarkan pendekatan terhadap perichoresis. Dalam hal ini perichoresis berasal dari bahasa Yunani yang jika dimaknai dalam bahasa Indonesia bermakna bahwa sepenuhnya memiliki konteks hubungan kasih. Dalam hal ini tercipta suatu persekutuan dengan Allah. Oleh karena itulah, dalam konteks hubungan kasih dengan Allah ini terdapat tiga dimensi sehingga Mark Heim melihat bahwa perichoresis  berdasarkan dimensi Impersonal, dimensi Personal & dimensi Persekutuan.