Selasa, 12 Agustus 2014

Thesis Statement Adrian Mamahit : “Melihat Trinitarian Dari Prespektif Angka Tiga,Sebab Melalui Angka Tiga Dipahami Sebagai Sintesis Yang Merangkul Dalam Mengantarkan Para Pengikut Ajaran Kasih Untuk Memahami Keberadaan Yang Realitas Itu Di Dalam Kehidupan Bergaul Dan Memiliki Rasa Tanggung Jawab Dengan Para Umat Yang Lain”.

            Angka-angka adalah 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan seterusnya. Namun,sadarkah kita terhadap keistimewaan bilangan ganjil ? Setelah saya telaah bilangan ganjil dalam hal ini angka tiga merupakan angka yang bisa mengantarkan seseorang untuk menuju kesempurnaan. Sesuatu yang sempurna, pastilah impian semua orang karena itulah semua orang mengidam-idamkan sesuatu yang sempurna tersebut. Berdasarkan sejarah, angka-angka yang kita kenal sekarang merupakan angka-angka Arab, sebab orang-orang Arab tak lama sesudah kemunculan agama Islam yang menghasilkan tradisi Islam yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan itu satu. Pemikiran tentang angka-angka ini dikembangkan oleh Pythagoras, ia merupakan ilmuan yang rumus-rumus matematikanya masih dipakai sampai sekarang. Konon pemikirannya Pythagoras tentang keteraturan sangat berdampak bagi keagamaan pada saat itu. Sebab menurut Pythagoras,segala sesuatu ini sangat teratur, seperti keteraturan musical, keteraturan matematis, keteraturan kosmos dan terakhir keteraturan etis dan sosial ( Schimmel:25) selalu ada dalam kehidupan manusia. Oleh karena itulah pasti ada sesuatu yang memiliki kuasa untuk mengatur itu semua. Bahkan, menurut Pythagoras interval tangga nada berhubungan dengan panjang relatif  vibrasi senar dengan perbandingannya 1:2, 2:3, dan 3:4, dengan dimikan jika harmoni musical dapat diekspresikan dalam rumus-rumus matematika dengan cara menghitung perbandingan senar,maka esensi dari segala sesuatu pun sepertinya bisa diungkapkan dengan angka-angka (Schimmel:25-26).

            Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kaum Pythagorean sangat terpesona dengan perbedaan antara angka ganjil dan angka genap. Sebab menurut Schimmel :
“ Keterpesonaan kaum Pythagorean ditunjukan berdasarkan perbandingan antara harmoni-harmoni sederhana (1:2,3:4,…). Mereka melangkah begitu jauh untuk membagi segala sesuatu di alam semesta ini menjadi dua kategori: angka-angka ganjil berada di sisi kanan, yang diasosiasikan dengan yang terbatas, maskulin, diam, lurus, cahaya, dan kebaikan serta dalam geometri dengan bujur sangkar. Sementara angka-angka genap berada di sisi kiri yang infinitif, tak terbatas karena dapat dibagi secara tak terbatas, keragaman,feminine, yang bergerak, kejahatan, kegelapan,setan dan dalam geometri dengan persegi (Schimmel:25)”.
            Bahkan ada pemahaman yang mengatakan bahwa Numera deus impare gaudet[1] (Schimmel:25), oleh karena itu tidak mengherankan apabila kecintaan terhadap angka-angka ganjil dimunculkan dalam ritus,doa,mantra dansebagainya diulang-ulang dalam jumlah ganjil misalnya saja nyanyian-nyanyian taize sering diulangi sebanyak lima kali atau tujuh kali tidak itu saja dalam tradisi-tradisi gerejawi ketika Pelayan Firman memberi berkat kepada jemaat dan meresponya dengan menggulangi kata amin sebanyak tiga kali.
            Berdasarkan pemaparan tersebut maka saya melihat bahwa ada yang istimewa dari agama-agama atau aliran-aliran kepercayaan di dunia ini. Dalam hal ini angka-angka sering dipakai untuk membantu para pengikutnya memahami akan keberadaan yang realistis, sebab dalam pemikiran filsuf Descartes yang mengatakan “cogito ergo sum”[2](Strathern:1), berarti manusia memang membutuhkan sesuatu yang realitis terlebih dahulu untuk membantu manusia dalam memahami akan keberadaan yang realistis tersebut. Oleh karena itulah, tidak mengherankan apabila begitu banyaknya agama-agama atau aliran kepercayaan menggunakan angka-angka yang realistis sebab manusia tidak pernah lepas dari angka-angka. Misalnya sistem kalender masehi atau jam khan terdiri dari angka-angka.
            Melalui angka-angka para pengikut ajaran kasih dalam hal ini agama Kristen akan melihat kehadiran Allah. Dengan demikian, melalui angka-angkalah manusia akan merasakan keberadaan Allah. Sebab, sifat Allah selalu ada disekitar kehidupan manusia. Oleh karena itu sama dengan pemikiran seorang filsuf pelopor yang mengatakan “cogito ergo sum”, selain itu juga kita akan melihat bahwa pergaulan dengan para umat yang lain sangatlah penting. Untuk itulah diperlukan kesadaran akan adanya juga pergaulan Allah terhadap dunia ini. Dan bukankah, di dunia ini terdari dari berbagai macam kepercayaan namun sebenarnya hanya memiliki satu tujuan yaitu untuk memperoleh yang Realitas tersebut.
            Setelah pemahaman tentang eksklusif, inklusif atau pluralis dinilai gagal dalam menghasilkan pergaulan antar umat. Muncullah sebuah gagasan untuk mengatasi kegagalan tersebut pada abad 20, oleh karena itulah trinitas kembali lagi untuk dipakai memahami keanekaragaman dalam teologi agama-agama. Dalam hal ini Trinitarian berbicara tentang realitas sebagai personal, sebab realitas yang rasional merealisasikan person. Selain itu juga, realitas menghasilkan komunitas yang bertujuan untuk saling mengisi oleh karena itulah melalui relasi yang akrab tidak akan menghancurkan identitas masing-masing para umat.Hal ini sering dipahami dengan perichoresis, namun secara jelasnya pemahaman ini dapat dipahami dengan sebutan perichoresis nature. Sebab, dalam tradisi timur dijelaskan bahwa reality perichoresis terwujud antara yang realitas dan Allah. Dan realitas itu ciptaan Allah yang berada di dalam ruangan yang disebut nature. Oleh karena itulah kembali lagi dengan istilah cogito ergo sum, dengan begitu marilah kita “Melihat Trinitarian Dari Prespektif Angka Tiga,Sebab Melalui Angka Tiga Dipahami Sebagai Sintesis Yang Merangkul Dalam Mengantarkan Para Pengikut Ajaran Kasih Untuk Memahami Keberadaan Yang Realitas Itu Di Dalam Kehidupan Bergaul Dan Memiliki Rasa Tanggung Jawab Dengan Para Umat Yang Lain”.
            Pada dasarnya paham sufisme sudah mengajarkan doktrin kesatuan agama-agama,hal ini dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran para sufi yang mengatakan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah satu dan mempunyai tujuan yang sama,yaitu untuk memperoleh keselamatan, sedangkan yang membedahkan antara agama-agama terletak hanya pada namanya,bentuknya, dan cara ibadahnya (Tim Balitbang PGI:151). Oleh karena itulah, pemahaman ini harus disadari dan dimaknai akan kesamaan tersebut. Sehingga muncullah pemahaman perichoresis yang bertujuan untuk membantah pemahaman tentang tritunggal yang salah, sebab pada awalnya tritunggal itu dipisah sama seperti sebuah segita. Namun pemahaman yang bersifat hierarki tersebut dibantah dengan pemahaman perichoresis yang menggambarkan tritunggal itu seperti oval atau berbentuk lingkaran, yang dimana tritunggal itu sedang berdansa karena kebahagiaan maksudnya tritunggal tinggal bersama-sama manusia, sehingga manusia dapat merasakan keberadaan yang realitas dan membantu manusia untuk melakukan persekutuan yang ilahi. Sebab melalui persekutuan yang ilahi berarti adanya sifat yang saling terbuka dan saling mengasihi antara sesama manusia. Namun untuk membantu manusia memahami yang realitas tersebut dibutuhkannya sesuatu media, oleh karena itulah pemahaman tersebut dibantu dengan angka tiga menjadi media yang berasal dari lingkungan sekitar manusia.
            Adanya angka tiga dipahami sebagai sintesis yang merangkul. Pemahaman ini dikembangkan oleh seorang teolog di Marbung yang bernama Wolfgang Philipp, beliau melakukan sebuah studi ilmiah yang berjudul Trinitat ist unser it[3]. Dalam hal ini angka tiga dilihat dalam persoalan keesaan yang berasal dariNya dan menjadi sesuatu yang lain dan sesuatu ini kembali menyatu denganNya pada tahap ketiga adalah persoalan spiritual bagi seluruh umat manusia (Schimmel:67), hal ini menjelaskan bahwa sebenarnya angka tiga ini berada disekitar kehidupan para umat manusia. Dengan begitu dapat dilihat bahwa ketika melihat air, udara dan tanah, manusia mengembangkan ide eksistensi tiga dunia. Sebab manusia mengenal tiga zat yakni padat, cair, dan gas, selain itu juga manusia mengenal tiga kelompok makanan yakni mineral, nabati, serta hewani (Schimmel:67). Selain itu banyak tradisi yang menerjemahkan angka tiga sebagai yang banyak, sebab melampui dualitas selain itu juga Aristoteles menunjukkan bahwa angka tiga adalah angka pertama yang disebut semua, sebab angka tiga bersifat kumulatif dan bermakna finalitas (Schimmel:76).
            Berdasarkan itu tidak mengherankan apabila menurut Panikkar bahwa semua realitas adalah Trinitarian, yang melibatkan kosmos, Theos,dan manusia. Sebab semua yang ada di dunia tidak pernah lepas dari sesuatu yang berbau angka tiga dalam hal ini kita melihat Trinitarian, yang selalu terkait antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak pernah ada Allah tanpa dunia dan manusia, atau tidak akan pernah ada dunia tanpa Allah dan manusia, atau dengan kata lain tidak akan pernah ada manusia tanpa Allah dan dunia. Dengan begitu Trinitat ist unser it memang harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari, agar manusia yang memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkan syukur kepada yang mahakuasa dapat menyadari sehingga para manusia dapat terus melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk bergaul dengan umat-umat lain yang ada di dunia ini.
            1 Korintus 4:6-13 merupakan bacaan yang bisa membuat kita sadar bahwa persatuan sangat penting. Mematahkan sebatang lidi adalah hal yang mudah. Namun mematahkan satu ikat lidi berdiameter kepalan tangan bukanlah hal yang mudah. Alih-alih mematahkan lidi, malah yang terjadi muka disambar oleh kibasan ujung lidi yang mental dari tangan kita. Akibatnya kita merasa sakit di bagian yang terkena kibasan tersebut. Pepatah yang mengatakan ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’ berlaku pada batang-batang lidi tersebut.
Oleh karena itu membina kesatuan adalah hal yang penting agar persatuan yang telah terjalin tetap eksis. Persatuan adalah situasi yang menggambarkan sikap berkumpul dalam kebersamaan. Kesatuan adalah sikap bersatu yang mengikat setiap bagian tetap dalam persatuan. Sikap inilah yang perlu dibina agar tidak terjadi perpecahan di antara bagian-bagian yang ada. Persoalannya, adalah membina kesatuan bukanlah hal yang mudah. Ancaman atau bibit perpecahan selalu mengintai. Bibit unggul perpecahan adalah keberpihakan atau sikap memihak. Yang di sana memihak yang itu, yang di sini memihak yang ini, ya sudahlah, yang terjadi adalah pengelompokan. Lalu, jika sudah dibarengi fanatisme, hasilnya sangatlah tidak bagus.
Keberpihakan yang sudah dilaburi dengan fanatisme, adalah masalah yang dapat memecah keharmonisan. Ini mengingatkan saya pada perpecahan penggemar sepak bola di kota Manchester antara penggemar The Red Devils pendukung tim Manchester United dengan The Citizens pendukung tim Manchester City atau di kota Milan, antara penggemar Rossoneri pendukung tim AC Milan dan Nerazzurri pendukung tim Inter Milan di kota Milan J.
Nampaknya pengelompokan atau gap menjadi masalah yang mengental di jemaat Korintus. Dalam 1 Korintus 4:6-13, Paulus mendeskripsikan sebuah jemaat yang tadi sudah satu, mengalami perpecahan karena terjadi pengelompokan. Alasan pengelompokan adalah pemberita Injil yang menjadi fans jemaat. Ada yang menjadi fans Paulus, ada yang menjadi fans Apolos (1:12). Paulus mendengar pengelompokan fans tersebut dari keluarga Kloe (1:11). Akibat dari pengelompokan tersebut, adalah sikap jemaat kepada pemberita Injil yang datang pun terpecah. Di sisi yang lain, keadaan ini membuat antara Paulus dan Apolos merasa saling ‘tidak enak’, mengingat keduanya, tercatat dalam Kisah Para Rasul, bekerja di tengah-tengah jemaat Korintus, walaupun tidak dalam waktu yang bersamaan (Kis. 18). Hal ini sama dengan kehidupan beragama, sebab pada dasar umat manusia sudah bersatu dengan tetap menghormati identitas masing-masing namun karena berjalannya waktu dan sifat manusia yang tidak pernah puas membuat manusia berusaha menjadi superior sehingga bisa memiliki pengikut yang banyak dan menjadikan kaum minoritas menjadi kaum yang tersisihkan.
Dalam pengelompokan ‘fans’ berdasarkan I Korintus 4:6-13 tersebut sudah mengarah pada sikap kesombongan rohani. Yang satu merasa dirinya secara rohani lebih baik dari pada yang lain. Lalu ‘si yang lain’ pun merasa jauh lebih baik dari ‘si yang satu’. Seperti ada kecenderungan, bahwa pemberita Injil favoritnya telah menjadikan para penggemarnya lebih baik. Atau dengan kata lain, seseorang merasa lebih baik, karena diajar oleh Paulus, atau yang lainnya merasa lebih baik lagi, karena diajar oleh Apolos.
Kondisi di atas menyebabkan jemaat Korintus mendapat teguran, “…supaya jangan ada di antara kamu yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain.” (ay. 6,14), dan menghentikan sikap ‘nge-fans’ yang tidak pada tempatnya tersebut. Dalam persekutuan jemaat, setiap anggota harus menyadari, bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya. Paulus dan Apolos pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena tidak pada tempatnya, jika ada warga jemaat yang meninggikan pemberita Injil yang satu sebagai yang baik, sementara pemberita yang lain direndahkan.Lalu, menurut Paulus, dari pada warga jemaat membuat daftar pemberita Injil yang terbaik yang bekerja di tengah-tengah jemaat, sebaiknya warga jemaat memperhatikan beban mental yang dirasakan oleh orang-orang yang telah bersedia mengerjakan tugas pemberitaan Injil. Ada konsekuensi yang harus diterima oleh pemberita Injil. Pada saat mereka dimaki, mereka harus membalas dengan memberkati. Pada saat mereka dianiaya, mereka harus membalas dengan sikap sabar.
Pada saat mereka difitnah, mereka harus menanggapi dengan keramahan. Belum lagi mereka kelaparan, kehausan, ditelanjangi, dipukuli, harus melakukan pekerjaan berat dan harus menjadi pengembara karena tugas pemberitaan Injil (ay. 11-13). Ada kesan dalam bacaan ini, supaya dari pada bersikap berseberangan yang berakibat pada sikap pilih kasih, lebih baik warga jemaat memiliki empati pada para pemberita Injil yang bekerja di tengah-tengah mereka.
Keadaan di Korintus adalah keadaan yang dapat kita jumpai dalam kehidupan bergereja pada masa kini. Dalam beberapa kasus terjadi pengelompokan atas dasar pengidolaan terhadap para pendeta telah membawa perpecahan dalam jemaat. Ada lagi pengelompokan yang didasarkan pada keberpihakan terhadap tokoh yang berpengaruh dalam jemaat, apalagi kalau tokoh itu adalah orang yang dituakan oleh jemaat itu sendiri, termasuk dalam pengertian ini adalah anggota jemaat yang mengondisikan keadaan itu sendiri, sehingga yang bersangkutan jatuh dalam sikap besar kepala .
Dalam hal ini sikap besar kepala ini sama dengan sifat-sifat superior yang sering ditunjukan oleh sebuah agama yang mayoritas. Oleh karena itulah diperlukan kesadaran agar melalui konsep Trinitarian yang dilihat dari presepsi angka tiga dipahami sebagai sintesis yang merangkul dapat mengantarkan umat manusia menyadari betapa pentingnya saling menghormati, sehingga tercipta pula sesuatu yang mengarahkan manusia untuk lebih memprioritaskan hubungan yang memilihara konsep tetangga. Dengan demikian angka tiga dipahami sebagai sintesis yang merangkul dapat digunakan oleh semua manusia di dunia untuk dipahami sehingga konsep tetangga dapat diwujudnyatakan. Sebab, keluarga yang paling dekat khan tetangga oleh karena itu melalui tetangga kita dapat memperoleh pertolongan.
Dalam persekutuan jemaat di mana kita hadir di dalamnya, bisa saja tidak ada kondisi seperti yang dialami oleh Korintus atau yang dipaparkan di atas. Namun bukan berarti kita dapat bersikap santai. Sebaliknya, tanpa mengurangi kesantaian itu , kita menjaga diri kita masing-masing untuk tidak memberi tempat pada keberpihakan yang berakibat pada perpecahan, apalagi memposisikan diri sebagai fans berat. Dengan demikian, kita juga belajar mengasah keadilan dalam diri masing-masing. Jangan biarkan sikap pilih kasih bertumbuh dan berkembang dalam diri kita. Ingatlah, bahwa perasaan-perasaan yang kita miliki membuat kita tidak lebih dari lidi yang mudah patah. Tapi kalau kita mau mengolah keberadaan kita dalam kebersamaan dengan yang lain, kita tidak mudah diceraikan.
Keadilan di tengah dunia ini, dapat terwujud melalui pelayanan Kasih dari Yesus yang mengutamakan kesederhanaan, karena tanpa cinta kasih, keadilan di dunia ini tidak akan dapat terwujud dengan sempurna. Berbicara tentang keadilan sosial yang diwujudnyatakan oleh Yesus, sebelum kedatangan Yesus, keadilan sosial sudah ada terlebih dahulu dalam kehidupan bangsa-bangsa sebelum Yesus hadir. Untuk dapat lebih memahami hubungan keadilan sosial, kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari kata keadilan itu sendiri. Kata keadilan identik dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat sebuah penghakiman. Sesungguhnya kata keadilan juga memiliki makna lain selain daripada itu. Jika dilihat dari Perjanjian Lama, maka kata keadilan berasal dari kata mishpath yang berarti hukum tetapi juga dapat berarti keadilan, dan istilah tersebut berasal dari kata shaphat, yang berarti mengadili, dan memiliki arti asli sebagai ‘menyelamatkan dari penindasan’, yang kemudian artinya berkembang menjadi hakim (Hendriks:23-24).
Manusia tidak mungkin dapat memperoleh keselamatan apabila tidak terdapat keadilan sosial dalam kehidupan mereka. Dikatakan demikian sebab, harus tercipta suatu keadilan sosial di tengah-tengah dunia ini, sehingga keselamatan dari Allah yang diperoleh dari Yesus Kristus dapat kita terima . Wujud nyata dari keadilan itu dapat kita terima dari kasih Allah kepada kita, yang kita rasakan melalui Yesus Kristus. Sehingga Allah memberikan keselamatan kepada kita, melalui pengorbanan anakNya, yaitu Yesus yang mati di kayu salib, untuk menebus dosa semua manusia. Yesus mati bagi semua orang, dan tak kenal pandang bulu. Dalam hal keselamatan, gereja-gereja juga mengatakan bahwa di dalam Yesuslah, Allah melakukan segala karyaNya untuk keselamatan ( Driver:76).
Berdasarkan itulah,saya berpendapat bahwa segala sesuatu yang hidup memiliki sifat yang teleologis. Oleh karena itulah, manusia juga harus memiliki tujuan atau teleologis untuk menjalani kehidupan ini. Untuk mencapai teleologis, dibutuhkan teori yakni deontologi. Deontologi berasal dari kata yunani yakni deon berarti, apa yang harus dilakukan atau kewajiban (Bertens:254).  Dalam deontologi, sangatlah diutamakan hukum-hukum dan norma-norma yang Kristen. Sebab kita harus mematuhi perintah Allah yang terwujud dalam norma-norma yang Allah berikan kepada kita. Teori ini tidak mengukur baik tidaknya sebuah perbuatan,melalui hasilnya. Melainkan teori ini hanya menitik beratkan pada perbuatan,selain itu juga keputusan melalui teori ini dilihat sebarapa wajibkah keputusan yang diambil.  Oleh karena itulah deontologi mau berbicara mengenai kewajiban seorang manusia, dalam mencapai teleologis. Sehingga para pengikut ajaran kasih bisa menciptakan kehidupan yang bergaul dan memiliki rasa tanggung jawab dengan para umat yang lain.
Der Alleszermalmer yang berarti sang pelumat segala sesuatu, sebutan ini diberikan kepada Immanuel Kant dari Moses Mendelssohn seorang filsuf keturanan Yahudi (Tjahjadi:278). Immanuel Kant sangat dipengaruhi oleh rasionalisme Wolff  dan Leibniz dosen yang ia kagumi, sewaktu masa kuliahnya (Hardiman:130-131). Pada tahun 1755 , Immauel Kant mendapat gelar doktor dengan disertasi berjudul Meditationum quarundum de igne succinta delineatio yang berarti uraian singkat atas sejumlah pemikiran tentang api (Tjahjadi:278).
Menurut Immanuel Kant,yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik (Bertens:255). Maksudnya kehendak yang baik itu,berasal dari dalam diri kita sendiri bukan berasal dari penilaian orang lain. Sedangkan ,menurut Immanuel Kant kehendak yang baik ada jika kita manusia bertindak karena kewajiban. Namun seiring berjalannya waktu, akan muncul pertanyaan yang akan menanyakan asal mula kehendak yang baik. Dengan berdasarkan pernyataan Kant, saya secara pribadi mengatakan asal mula kehendak yang baik itu dari dalam hati manusia. Sebab, manusia tidak akan pernah lepas dari pribahasa yang mengatakan ada udang di balik batu. Hal ini didukung dengan peryataan K.Bertens yang mengatakan jika, perbuatan dilakukan dengan berdasarkan motif atau maksud untuk berbuat baik (Bertens:255). Oleh karena itulah,para pengikut ajaran kasih haruslah memiliki motif untuk berbuat baik kepada siapa saja, agar sikap eksklusif yang sudah menjadi warisan dari nenek moyang dapat dihilangkan sehingga kehidupan yang bergaul dan memiliki rasa tanggung jawab dengan para umat yang lain dapat diwujudnyatakan.
Selanjutnya Immanuel Kant memikirkan otonomi kehendak (Bertens:256). Sebab, Kant memahami hukum moral sebagai kewajiban yang mengandung perintah. Oleh karena itulah Kant menyimpulkan jika, sesuatu yang bermoral itu harus bertindak secara otonom bukan heteronom. Kehendak yang bersifat otonom berasal dari dalam diri sedangkan, kehendak yang bersifat heteronom membiarkan dirinya ditentukan oleh faktor yang berasal dari luar dirinya. Dengan kata lain, Kant mau menyebut manusia itu makhluk hidup yang memiliki akal budi yang bebas (Bertens:257).
Pandangan Immanuel Kant mengenai deontologi dirasa kurang oleh seorang filsuf yang berasal dari Inggris, yakni W.D.Ross. Beliau mengatakan jika kewajiban itu selalu berhubungan dengan pandangan pertama ( prima facie ) maksud Ross dengan prima facie ialah kewajiban itu hanya sementara, sebelum adanya kewajiban yang lebih penting muncul. Sebab pada dasarnya, Ross menerima teori deontologi Immanuel Kant. Namun,pengertian prima facie perlu dimasukan dalam kewajiban. Dengan demikian W.D.Ross menyusun 7 kewajiban prima facie yakni, kewajiban kesetiaan, kewajiban ganti rugi,kewajiban terima kasih, kewajiban keadilan, kewajiban berbuat baik, kewajiban mengembangkan dirinya, dan kewajiban untuk tidak merugikan(Bertens:260).
Menurut Ross kewajiban berlaku secara langsung bagi manusia. Maksudnya  ketika ada sesuatu yang berhubungan dengan moral, maka secara otomatis akan muncul kewajiban untuk mendorong melakukan kehendak yang sesuai dengan kehendak berasal dari dalam hati. Oleh karena itulah pandangan W.D.Ross ini merupakan kemajuan terhadap pemikiran Kant, namun pandangannya juga memiliki kelemahan. Hal ini disadari Ross bahwa, ia tidak bisa menunjukkan norma untuk menentukan kewajiban apa yang berlaku di atas kewajiban prima facie.
Dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak keaneka ragam yang di temui pada dunia ini, terlebih khusus pada negara tercinta kita ini Indonesia. Banyaknya agama,suku atau budaya, serta lapisan sosial membuat kita harus menyesuaikan diri terhadap keanekaragaman tersebut. Maka di perlukanlah norma-norma untuk mengatur tingkah laku kita, agar kita dapat diterima oleh masyarakat setempat. Sama seperti pertayaan etis yang paling penting, ialah norma-norma apa yang sesuai dengan perintah Allah sehingga kita harus menaatinya (Brownlee:34). Dengan demikian, memiliki tanggung jawab terhadap umat lain sangatlah diperlukan, sebab para pengikut ajaran kasih akan dapat diterima masyarakat setempat sehingga terciptalah suasana pergaulan,selain itu para pengikut ajaran kasih dapat mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat di dunia ini. Sebab, kehendak Tuhan dinyatakan terutama bukan dalam rencanaNya atau hukumanNya melainkan dalam perbuatanNya (Brownlee:38).
            Berdasarkan peryataan tersebut,kita dapat melihat keuntungan dari bergaul dengan umat lain yakni peranannya dalam mengatasi berbagai macam masalah yang terjadi. Melalui pergaulan dengan masyarakat dapat memperjuangkan nasib seseorang atau sekelompok orang yang tertindas. Selain itu ada kekurangannya yang sangat mencolok dapat dilihat secara langsung di kehidupan sehari-hari. Sebab kita sekarang ini hidup dalam masa transformasi masyarakat yang sedang berjuang untuk menunjukan kemampuan masing-masing.Membuat perubahan sering terjadi dengan cepat (Bertens:266-267),pada masa transformasi ini. Oleh karena itulah perubahan yang terus terjadi itu muncul dibawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi. Yang dimaksud gelombang modernisasi disini bukan hanya menyangkut barang atau peralatan yang diproduksi semakin canggih, melainkan juga dalam hal cara berpikir yang telah berubah secara radikal. Ada banyak cara berpikir yang berkembang, yang dimana telah banyak mengubah lingkungan budaya, sosial dan rohani masyarakat kita. Berdasarkan itu marilah melihat Trinitarian dari prespektif angka tiga,sebab melalui angka tiga dipahami sebagai sintesis yang merangkul dalam mengantarkan para pengikut ajaran kasih untuk memahami keberadaan yang Realitas itu di dalam kehidupan bergaul dan memiliki rasa tanggung jawab dengan para umat yang lain.
Kepustakaan :
Bertens , K .ETIKA. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka.2004 .
Brownlee,M .Pengambilan Keputusan Etis Dan Faktor-Faktor Di Dalamnya.Jakarta : BPK Gunung Mulia.2000.
Driver,Tom F.Christ in a changing World. London: SCM Press Ltd.1981.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Moderen. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.2007 .
Hendriks,Herman.Keadilan Sosial dalam Kitab Suci.Yogyakarta: Kanisius.1990.
Keene. Michael.Agama-Agama Dunia (terj).Yogyakarta: Kanisius.2006.
Schimmel,Annemarie.Misteri Angka-Angka Dalam Berbagai Peradaban Kuno dan Tradisi Agama Islam, Yahudi,
dan Kristen (terj).Bandung:Pustaka Hidayah.2006.
Smith,Huston.Agama-Agama Manusia (terj) .Jakarta:Obor.2001.
Strathern,Paul.90 Menit Bersama Nietzche(terj).Jakarta:Erlangga.2001.
Tim Balitbang PGI.Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia.Jakarta:BPK Gunung Mulia.1999.
Tjahjadi, Simon Petrus L.Petualangan Intelektual. Yogyakarta : Kanisius.2004.
“Sumber lain : catatan teologi agama-agama dari dosen pengampu kuliah tersebut dalam kurun waktu agustus-oktober 2010



[1] Artinya: dewa senang dengan angka ganjil.
[2] Artinya aku berpikir,karena itu aku ada.
[3] Artinya : Trinitas Adalah Wujud Kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar