Angka-angka
adalah 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan seterusnya. Namun,sadarkah kita terhadap keistimewaan
bilangan ganjil ? Setelah saya telaah bilangan ganjil dalam hal ini angka tiga
merupakan angka yang bisa mengantarkan seseorang untuk menuju kesempurnaan.
Sesuatu yang sempurna, pastilah impian semua orang karena itulah semua orang
mengidam-idamkan sesuatu yang sempurna tersebut. Berdasarkan sejarah,
angka-angka yang kita kenal sekarang merupakan angka-angka Arab, sebab
orang-orang Arab tak lama sesudah kemunculan agama Islam yang menghasilkan
tradisi Islam yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan itu satu. Pemikiran
tentang angka-angka ini dikembangkan oleh Pythagoras, ia merupakan ilmuan yang
rumus-rumus matematikanya masih dipakai sampai sekarang. Konon pemikirannya Pythagoras
tentang keteraturan sangat berdampak bagi keagamaan pada saat itu. Sebab
menurut Pythagoras,segala sesuatu ini sangat teratur, seperti keteraturan
musical, keteraturan matematis, keteraturan kosmos dan terakhir keteraturan
etis dan sosial ( Schimmel:25) selalu ada dalam kehidupan manusia. Oleh karena
itulah pasti ada sesuatu yang memiliki kuasa untuk mengatur itu semua. Bahkan,
menurut Pythagoras interval tangga nada berhubungan dengan panjang relatif vibrasi senar dengan perbandingannya 1:2, 2:3,
dan 3:4, dengan dimikan jika harmoni musical dapat diekspresikan dalam
rumus-rumus matematika dengan cara menghitung perbandingan senar,maka esensi
dari segala sesuatu pun sepertinya bisa diungkapkan dengan angka-angka
(Schimmel:25-26).
Oleh
karena itu tidak mengherankan apabila kaum Pythagorean sangat terpesona dengan
perbedaan antara angka ganjil dan angka genap. Sebab menurut Schimmel :
“
Keterpesonaan kaum Pythagorean ditunjukan berdasarkan perbandingan antara
harmoni-harmoni sederhana (1:2,3:4,…). Mereka melangkah begitu jauh untuk
membagi segala sesuatu di alam semesta ini menjadi dua kategori: angka-angka
ganjil berada di sisi kanan, yang diasosiasikan dengan yang terbatas, maskulin,
diam, lurus, cahaya, dan kebaikan serta dalam geometri dengan bujur sangkar.
Sementara angka-angka genap berada di sisi kiri yang infinitif, tak terbatas
karena dapat dibagi secara tak terbatas, keragaman,feminine, yang bergerak,
kejahatan, kegelapan,setan dan dalam geometri dengan persegi (Schimmel:25)”.
Bahkan
ada pemahaman yang mengatakan bahwa Numera
deus impare gaudet[1]
(Schimmel:25), oleh karena itu tidak mengherankan apabila kecintaan
terhadap angka-angka ganjil dimunculkan dalam ritus,doa,mantra dansebagainya
diulang-ulang dalam jumlah ganjil misalnya saja nyanyian-nyanyian taize sering diulangi sebanyak lima kali
atau tujuh kali tidak itu saja dalam tradisi-tradisi gerejawi ketika Pelayan
Firman memberi berkat kepada jemaat dan meresponya dengan menggulangi kata amin sebanyak tiga kali.
Berdasarkan
pemaparan tersebut maka saya melihat bahwa ada yang istimewa dari agama-agama
atau aliran-aliran kepercayaan di dunia ini. Dalam hal ini angka-angka sering
dipakai untuk membantu para pengikutnya memahami akan keberadaan yang
realistis, sebab dalam pemikiran filsuf Descartes yang mengatakan “cogito ergo sum”[2](Strathern:1),
berarti manusia memang membutuhkan sesuatu yang realitis terlebih dahulu untuk
membantu manusia dalam memahami akan keberadaan yang realistis tersebut. Oleh
karena itulah, tidak mengherankan apabila begitu banyaknya agama-agama atau
aliran kepercayaan menggunakan angka-angka yang realistis sebab manusia tidak
pernah lepas dari angka-angka. Misalnya sistem kalender masehi atau jam khan
terdiri dari angka-angka.
Melalui
angka-angka para pengikut ajaran kasih dalam hal ini agama Kristen akan melihat
kehadiran Allah. Dengan demikian, melalui angka-angkalah manusia akan merasakan
keberadaan Allah. Sebab, sifat Allah selalu ada disekitar kehidupan manusia.
Oleh karena itu sama dengan pemikiran seorang filsuf pelopor yang mengatakan “cogito ergo sum”, selain itu juga kita
akan melihat bahwa pergaulan dengan para umat yang lain sangatlah penting.
Untuk itulah diperlukan kesadaran akan adanya juga pergaulan Allah terhadap
dunia ini. Dan bukankah, di dunia ini terdari dari berbagai macam kepercayaan
namun sebenarnya hanya memiliki satu tujuan yaitu untuk memperoleh yang Realitas
tersebut.
Setelah
pemahaman tentang eksklusif, inklusif atau pluralis dinilai gagal dalam menghasilkan
pergaulan antar umat. Muncullah sebuah gagasan untuk mengatasi kegagalan
tersebut pada abad 20, oleh karena itulah trinitas kembali lagi untuk dipakai
memahami keanekaragaman dalam teologi agama-agama. Dalam hal ini Trinitarian
berbicara tentang realitas sebagai personal, sebab realitas yang rasional
merealisasikan person. Selain itu juga, realitas menghasilkan komunitas yang
bertujuan untuk saling mengisi oleh karena itulah melalui relasi yang akrab
tidak akan menghancurkan identitas masing-masing para umat.Hal ini sering
dipahami dengan perichoresis, namun secara jelasnya pemahaman ini dapat
dipahami dengan sebutan perichoresis
nature. Sebab, dalam tradisi timur dijelaskan bahwa reality perichoresis terwujud antara yang realitas dan Allah. Dan
realitas itu ciptaan Allah yang berada di dalam ruangan yang disebut nature. Oleh karena itulah kembali lagi
dengan istilah cogito ergo sum,
dengan begitu marilah kita “Melihat Trinitarian Dari Prespektif Angka Tiga,Sebab
Melalui Angka Tiga Dipahami Sebagai Sintesis Yang Merangkul Dalam Mengantarkan
Para Pengikut Ajaran Kasih Untuk Memahami Keberadaan Yang Realitas Itu Di Dalam
Kehidupan Bergaul Dan Memiliki Rasa Tanggung Jawab Dengan Para Umat Yang Lain”.
Pada
dasarnya paham sufisme sudah mengajarkan doktrin kesatuan agama-agama,hal ini
dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran para sufi yang mengatakan bahwa semua
agama pada hakikatnya adalah satu dan mempunyai tujuan yang sama,yaitu untuk
memperoleh keselamatan, sedangkan yang membedahkan antara agama-agama terletak
hanya pada namanya,bentuknya, dan cara ibadahnya (Tim Balitbang PGI:151). Oleh
karena itulah, pemahaman ini harus disadari dan dimaknai akan kesamaan
tersebut. Sehingga muncullah pemahaman perichoresis
yang bertujuan untuk membantah pemahaman tentang tritunggal yang salah, sebab
pada awalnya tritunggal itu dipisah sama seperti sebuah segita. Namun pemahaman
yang bersifat hierarki tersebut dibantah dengan pemahaman perichoresis yang menggambarkan tritunggal itu seperti oval atau
berbentuk lingkaran, yang dimana tritunggal itu sedang berdansa karena
kebahagiaan maksudnya tritunggal tinggal bersama-sama manusia, sehingga manusia
dapat merasakan keberadaan yang realitas dan membantu manusia untuk melakukan
persekutuan yang ilahi. Sebab melalui persekutuan yang ilahi berarti adanya
sifat yang saling terbuka dan saling mengasihi antara sesama manusia. Namun
untuk membantu manusia memahami yang realitas tersebut dibutuhkannya sesuatu
media, oleh karena itulah pemahaman tersebut dibantu dengan angka tiga menjadi
media yang berasal dari lingkungan sekitar manusia.
Adanya
angka tiga dipahami sebagai sintesis yang merangkul. Pemahaman ini dikembangkan
oleh seorang teolog di Marbung yang bernama Wolfgang Philipp, beliau melakukan
sebuah studi ilmiah yang berjudul Trinitat
ist unser it[3].
Dalam hal ini angka tiga dilihat dalam persoalan keesaan yang berasal dariNya
dan menjadi sesuatu yang lain dan sesuatu ini kembali menyatu denganNya pada
tahap ketiga adalah persoalan spiritual bagi seluruh umat manusia
(Schimmel:67), hal ini menjelaskan bahwa sebenarnya angka tiga ini berada
disekitar kehidupan para umat manusia. Dengan begitu dapat dilihat bahwa ketika
melihat air, udara dan tanah, manusia mengembangkan ide eksistensi tiga dunia.
Sebab manusia mengenal tiga zat yakni padat, cair, dan gas, selain itu juga
manusia mengenal tiga kelompok makanan yakni mineral, nabati, serta hewani
(Schimmel:67). Selain itu banyak tradisi yang menerjemahkan angka tiga sebagai
yang banyak, sebab melampui dualitas selain itu juga Aristoteles menunjukkan
bahwa angka tiga adalah angka pertama yang disebut semua, sebab angka tiga
bersifat kumulatif dan bermakna finalitas (Schimmel:76).
Berdasarkan
itu tidak mengherankan apabila menurut Panikkar bahwa semua realitas adalah
Trinitarian, yang melibatkan kosmos, Theos,dan
manusia. Sebab semua yang ada di dunia tidak pernah lepas dari sesuatu yang
berbau angka tiga dalam hal ini kita melihat Trinitarian, yang selalu terkait
antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak pernah ada Allah tanpa
dunia dan manusia, atau tidak akan pernah ada dunia tanpa Allah dan manusia,
atau dengan kata lain tidak akan pernah ada manusia tanpa Allah dan dunia.
Dengan begitu Trinitat ist unser it memang
harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari, agar manusia yang memiliki
cara yang berbeda dalam mengungkapkan syukur kepada yang mahakuasa dapat
menyadari sehingga para manusia dapat terus melakukan hal-hal yang bermanfaat
untuk bergaul dengan umat-umat lain yang ada di dunia ini.
1
Korintus 4:6-13 merupakan bacaan yang bisa membuat kita sadar bahwa persatuan
sangat penting. Mematahkan sebatang lidi adalah hal yang mudah. Namun
mematahkan satu ikat lidi berdiameter kepalan tangan bukanlah hal yang mudah.
Alih-alih mematahkan lidi, malah yang terjadi muka disambar oleh kibasan ujung
lidi yang mental dari tangan kita. Akibatnya kita merasa sakit di bagian yang
terkena kibasan tersebut. Pepatah yang mengatakan ‘bersatu kita teguh, bercerai
kita runtuh’ berlaku pada batang-batang lidi tersebut.
Oleh karena itu membina kesatuan
adalah hal yang penting agar persatuan yang telah terjalin tetap eksis.
Persatuan adalah situasi yang menggambarkan sikap berkumpul dalam kebersamaan.
Kesatuan adalah sikap bersatu yang mengikat setiap bagian tetap dalam
persatuan. Sikap inilah yang perlu dibina agar tidak terjadi perpecahan di
antara bagian-bagian yang ada. Persoalannya, adalah membina kesatuan bukanlah
hal yang mudah. Ancaman atau bibit perpecahan selalu mengintai. Bibit unggul
perpecahan adalah keberpihakan atau sikap memihak. Yang di sana memihak yang
itu, yang di sini memihak yang ini, ya sudahlah, yang terjadi adalah
pengelompokan. Lalu, jika sudah dibarengi fanatisme, hasilnya sangatlah tidak
bagus.
Keberpihakan yang sudah dilaburi dengan fanatisme,
adalah masalah yang dapat memecah keharmonisan. Ini mengingatkan saya pada
perpecahan penggemar sepak bola di kota Manchester antara penggemar The Red
Devils pendukung tim Manchester United dengan The Citizens pendukung tim
Manchester City atau di kota Milan, antara penggemar Rossoneri pendukung tim AC
Milan dan Nerazzurri pendukung tim Inter Milan di kota Milan J.
Nampaknya pengelompokan atau gap
menjadi masalah yang mengental di jemaat Korintus. Dalam 1 Korintus 4:6-13,
Paulus mendeskripsikan sebuah jemaat yang tadi sudah satu, mengalami perpecahan
karena terjadi pengelompokan. Alasan pengelompokan adalah pemberita Injil yang
menjadi fans jemaat. Ada yang menjadi fans Paulus, ada yang menjadi fans Apolos
(1:12). Paulus mendengar pengelompokan fans tersebut dari keluarga Kloe (1:11).
Akibat dari pengelompokan tersebut, adalah sikap jemaat kepada pemberita Injil
yang datang pun terpecah. Di sisi yang lain, keadaan ini membuat antara Paulus
dan Apolos merasa saling ‘tidak enak’, mengingat keduanya, tercatat dalam Kisah
Para Rasul, bekerja di tengah-tengah jemaat Korintus, walaupun tidak dalam
waktu yang bersamaan (Kis. 18). Hal ini sama dengan kehidupan beragama, sebab
pada dasar umat manusia sudah bersatu dengan tetap menghormati identitas
masing-masing namun karena berjalannya waktu dan sifat manusia yang tidak
pernah puas membuat manusia berusaha menjadi superior sehingga bisa memiliki
pengikut yang banyak dan menjadikan kaum minoritas menjadi kaum yang
tersisihkan.
Dalam pengelompokan ‘fans’ berdasarkan
I Korintus 4:6-13 tersebut sudah mengarah pada sikap kesombongan rohani. Yang
satu merasa dirinya secara rohani lebih baik dari pada yang lain. Lalu ‘si yang
lain’ pun merasa jauh lebih baik dari ‘si yang satu’. Seperti ada
kecenderungan, bahwa pemberita Injil favoritnya telah menjadikan para
penggemarnya lebih baik. Atau dengan kata lain, seseorang merasa lebih baik,
karena diajar oleh Paulus, atau yang lainnya merasa lebih baik lagi, karena
diajar oleh Apolos.
Kondisi di atas menyebabkan jemaat
Korintus mendapat teguran, “…supaya jangan ada di antara kamu yang
menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain.”
(ay. 6,14), dan menghentikan sikap ‘nge-fans’ yang tidak pada tempatnya
tersebut. Dalam persekutuan jemaat, setiap anggota harus menyadari, bahwa
setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya. Paulus dan Apolos pun
memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena tidak pada tempatnya, jika ada
warga jemaat yang meninggikan pemberita Injil yang satu sebagai yang baik,
sementara pemberita yang lain direndahkan.Lalu, menurut Paulus, dari pada warga
jemaat membuat daftar pemberita Injil yang terbaik yang bekerja di
tengah-tengah jemaat, sebaiknya warga jemaat memperhatikan beban mental yang
dirasakan oleh orang-orang yang telah bersedia mengerjakan tugas pemberitaan
Injil. Ada konsekuensi yang harus diterima oleh pemberita Injil. Pada saat
mereka dimaki, mereka harus membalas dengan memberkati. Pada saat mereka
dianiaya, mereka harus membalas dengan sikap sabar.
Pada saat mereka difitnah, mereka
harus menanggapi dengan keramahan. Belum lagi mereka kelaparan, kehausan,
ditelanjangi, dipukuli, harus melakukan pekerjaan berat dan harus menjadi
pengembara karena tugas pemberitaan Injil (ay. 11-13). Ada kesan dalam bacaan
ini, supaya dari pada bersikap berseberangan yang berakibat pada sikap pilih
kasih, lebih baik warga jemaat memiliki empati pada para pemberita Injil yang
bekerja di tengah-tengah mereka.
Keadaan di Korintus adalah keadaan yang dapat kita
jumpai dalam kehidupan bergereja pada masa kini. Dalam beberapa kasus terjadi
pengelompokan atas dasar pengidolaan terhadap para pendeta telah membawa
perpecahan dalam jemaat. Ada lagi pengelompokan yang didasarkan pada
keberpihakan terhadap tokoh yang berpengaruh dalam jemaat, apalagi kalau tokoh
itu adalah orang yang dituakan oleh jemaat itu sendiri, termasuk dalam
pengertian ini adalah anggota jemaat yang mengondisikan keadaan itu sendiri,
sehingga yang bersangkutan jatuh dalam sikap besar kepala .
Dalam hal ini sikap besar kepala
ini sama dengan sifat-sifat superior yang sering ditunjukan oleh sebuah agama
yang mayoritas. Oleh karena itulah diperlukan kesadaran agar melalui konsep
Trinitarian yang dilihat dari presepsi angka tiga dipahami sebagai sintesis
yang merangkul dapat mengantarkan umat manusia menyadari betapa pentingnya
saling menghormati, sehingga tercipta pula sesuatu yang mengarahkan manusia
untuk lebih memprioritaskan hubungan yang memilihara konsep tetangga. Dengan
demikian angka tiga dipahami sebagai sintesis yang merangkul dapat digunakan
oleh semua manusia di dunia untuk dipahami sehingga konsep tetangga dapat
diwujudnyatakan. Sebab, keluarga yang paling dekat khan tetangga oleh karena
itu melalui tetangga kita dapat memperoleh pertolongan.
Dalam persekutuan jemaat di mana
kita hadir di dalamnya, bisa saja tidak ada kondisi seperti yang dialami oleh
Korintus atau yang dipaparkan di atas. Namun bukan berarti kita dapat bersikap
santai. Sebaliknya, tanpa mengurangi kesantaian itu , kita menjaga diri kita
masing-masing untuk tidak memberi tempat pada keberpihakan yang berakibat pada
perpecahan, apalagi memposisikan diri sebagai fans berat. Dengan demikian, kita
juga belajar mengasah keadilan dalam diri masing-masing. Jangan biarkan sikap
pilih kasih bertumbuh dan berkembang dalam diri kita. Ingatlah, bahwa
perasaan-perasaan yang kita miliki membuat kita tidak lebih dari lidi yang
mudah patah. Tapi kalau kita mau mengolah keberadaan kita dalam kebersamaan
dengan yang lain, kita tidak mudah diceraikan.
Keadilan di tengah dunia ini, dapat
terwujud melalui pelayanan Kasih dari Yesus yang mengutamakan kesederhanaan,
karena tanpa cinta kasih, keadilan di dunia ini tidak akan dapat terwujud
dengan sempurna. Berbicara tentang keadilan sosial yang diwujudnyatakan oleh
Yesus, sebelum kedatangan Yesus, keadilan sosial sudah ada terlebih dahulu
dalam kehidupan bangsa-bangsa sebelum Yesus hadir. Untuk dapat lebih memahami
hubungan keadilan sosial, kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari
kata keadilan itu sendiri. Kata keadilan identik dengan sesuatu yang di
dalamnya terdapat sebuah penghakiman. Sesungguhnya kata keadilan juga memiliki
makna lain selain daripada itu. Jika dilihat dari Perjanjian Lama, maka kata
keadilan berasal dari kata mishpath yang
berarti hukum tetapi juga dapat berarti keadilan, dan istilah tersebut berasal
dari kata shaphat, yang berarti
mengadili, dan memiliki arti asli sebagai ‘menyelamatkan dari penindasan’, yang
kemudian artinya berkembang menjadi hakim (Hendriks:23-24).
Manusia
tidak mungkin dapat memperoleh keselamatan apabila tidak terdapat keadilan
sosial dalam kehidupan mereka. Dikatakan demikian sebab, harus tercipta suatu
keadilan sosial di tengah-tengah dunia ini, sehingga keselamatan dari Allah
yang diperoleh dari Yesus Kristus dapat kita terima . Wujud nyata dari keadilan
itu dapat kita terima dari kasih Allah kepada kita, yang kita rasakan melalui
Yesus Kristus. Sehingga Allah memberikan keselamatan kepada kita, melalui
pengorbanan anakNya, yaitu Yesus yang mati di kayu salib, untuk menebus dosa
semua manusia. Yesus mati bagi semua orang, dan tak kenal pandang bulu. Dalam
hal keselamatan, gereja-gereja juga mengatakan bahwa di dalam Yesuslah, Allah
melakukan segala karyaNya untuk keselamatan ( Driver:76).
Berdasarkan itulah,saya
berpendapat bahwa segala sesuatu yang hidup memiliki sifat yang teleologis.
Oleh karena itulah, manusia juga harus memiliki tujuan atau teleologis untuk
menjalani kehidupan ini. Untuk mencapai teleologis, dibutuhkan teori yakni
deontologi. Deontologi berasal dari kata yunani yakni deon berarti, apa yang
harus dilakukan atau kewajiban (Bertens:254).
Dalam deontologi, sangatlah diutamakan hukum-hukum dan norma-norma yang
Kristen. Sebab kita harus mematuhi perintah Allah yang terwujud dalam norma-norma
yang Allah berikan kepada kita. Teori ini tidak mengukur baik tidaknya sebuah
perbuatan,melalui hasilnya. Melainkan teori ini hanya menitik beratkan pada
perbuatan,selain itu juga keputusan melalui teori ini dilihat sebarapa wajibkah
keputusan yang diambil. Oleh karena
itulah deontologi mau berbicara mengenai kewajiban seorang manusia, dalam
mencapai teleologis. Sehingga para pengikut ajaran kasih bisa menciptakan
kehidupan yang bergaul dan memiliki rasa tanggung jawab dengan para umat yang
lain.
Der
Alleszermalmer yang berarti sang pelumat segala
sesuatu, sebutan ini diberikan kepada Immanuel Kant dari Moses Mendelssohn
seorang filsuf keturanan Yahudi (Tjahjadi:278). Immanuel Kant sangat
dipengaruhi oleh rasionalisme Wolff dan
Leibniz dosen yang ia kagumi, sewaktu masa kuliahnya (Hardiman:130-131). Pada
tahun 1755 , Immauel Kant mendapat gelar doktor dengan disertasi berjudul Meditationum quarundum de igne succinta
delineatio yang berarti uraian singkat atas sejumlah pemikiran tentang api
(Tjahjadi:278).
Menurut Immanuel Kant,yang bisa
disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik (Bertens:255).
Maksudnya kehendak yang baik itu,berasal dari dalam diri kita sendiri bukan
berasal dari penilaian orang lain. Sedangkan ,menurut Immanuel Kant kehendak
yang baik ada jika kita manusia bertindak karena kewajiban. Namun seiring
berjalannya waktu, akan muncul pertanyaan yang akan menanyakan asal mula
kehendak yang baik. Dengan berdasarkan pernyataan Kant, saya secara pribadi
mengatakan asal mula kehendak yang baik itu dari dalam hati manusia. Sebab,
manusia tidak akan pernah lepas dari pribahasa yang mengatakan ada udang di balik batu. Hal ini
didukung dengan peryataan K.Bertens yang mengatakan jika, perbuatan dilakukan
dengan berdasarkan motif atau maksud untuk berbuat baik (Bertens:255).
Oleh karena itulah,para pengikut ajaran kasih haruslah memiliki motif untuk
berbuat baik kepada siapa saja, agar sikap eksklusif yang sudah menjadi warisan
dari nenek moyang dapat dihilangkan sehingga kehidupan yang bergaul dan
memiliki rasa tanggung jawab dengan para umat yang lain dapat diwujudnyatakan.
Selanjutnya Immanuel Kant
memikirkan otonomi kehendak (Bertens:256).
Sebab, Kant memahami hukum moral sebagai kewajiban yang mengandung perintah.
Oleh karena itulah Kant menyimpulkan jika, sesuatu yang bermoral itu harus
bertindak secara otonom bukan heteronom. Kehendak yang bersifat otonom berasal
dari dalam diri sedangkan, kehendak yang bersifat heteronom membiarkan dirinya
ditentukan oleh faktor yang berasal dari luar dirinya. Dengan kata lain, Kant
mau menyebut manusia itu makhluk hidup yang memiliki akal budi yang bebas (Bertens:257).
Pandangan Immanuel Kant mengenai
deontologi dirasa kurang oleh seorang filsuf yang berasal dari Inggris, yakni
W.D.Ross. Beliau mengatakan jika kewajiban itu selalu berhubungan dengan
pandangan pertama ( prima facie )
maksud Ross dengan prima facie ialah
kewajiban itu hanya sementara, sebelum adanya kewajiban yang lebih penting
muncul. Sebab pada dasarnya, Ross menerima teori deontologi Immanuel Kant.
Namun,pengertian prima facie perlu
dimasukan dalam kewajiban. Dengan demikian W.D.Ross menyusun 7 kewajiban prima facie yakni, kewajiban kesetiaan,
kewajiban ganti rugi,kewajiban terima kasih, kewajiban keadilan, kewajiban
berbuat baik, kewajiban mengembangkan dirinya, dan kewajiban untuk tidak
merugikan(Bertens:260).
Menurut Ross kewajiban berlaku
secara langsung bagi manusia. Maksudnya
ketika ada sesuatu yang berhubungan dengan moral, maka secara otomatis
akan muncul kewajiban untuk mendorong melakukan kehendak yang sesuai dengan
kehendak berasal dari dalam hati. Oleh karena itulah pandangan W.D.Ross ini
merupakan kemajuan terhadap pemikiran Kant, namun pandangannya juga memiliki
kelemahan. Hal ini disadari Ross bahwa, ia tidak bisa menunjukkan norma untuk
menentukan kewajiban apa yang berlaku di atas kewajiban prima facie.
Dalam kehidupan
sehari-hari begitu banyak keaneka ragam yang di temui pada dunia ini, terlebih
khusus pada negara tercinta kita ini Indonesia. Banyaknya agama,suku atau
budaya, serta lapisan sosial membuat kita harus menyesuaikan diri terhadap
keanekaragaman tersebut. Maka di perlukanlah norma-norma untuk mengatur tingkah
laku kita, agar kita dapat diterima oleh masyarakat setempat. Sama seperti
pertayaan etis yang paling penting, ialah norma-norma apa yang sesuai dengan
perintah Allah sehingga kita harus menaatinya (Brownlee:34).
Dengan demikian, memiliki tanggung jawab terhadap umat lain sangatlah
diperlukan, sebab para pengikut ajaran kasih akan dapat diterima masyarakat
setempat sehingga terciptalah suasana pergaulan,selain itu para pengikut ajaran
kasih dapat mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat di dunia ini.
Sebab, kehendak Tuhan dinyatakan terutama bukan dalam rencanaNya atau hukumanNya
melainkan dalam perbuatanNya (Brownlee:38).
Berdasarkan
peryataan tersebut,kita dapat melihat keuntungan dari bergaul dengan umat lain yakni
peranannya dalam mengatasi berbagai macam masalah yang terjadi. Melalui pergaulan
dengan masyarakat dapat memperjuangkan nasib seseorang atau sekelompok orang
yang tertindas. Selain itu ada
kekurangannya yang sangat mencolok dapat dilihat secara langsung di kehidupan
sehari-hari. Sebab kita sekarang ini hidup dalam masa transformasi masyarakat
yang sedang berjuang untuk menunjukan kemampuan masing-masing.Membuat perubahan
sering terjadi dengan cepat (Bertens:266-267),pada masa transformasi ini. Oleh karena itulah perubahan
yang terus terjadi itu muncul dibawah hantaman kekuatan yang mengenai semua
segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi. Yang dimaksud gelombang
modernisasi disini bukan hanya menyangkut barang atau peralatan yang diproduksi
semakin canggih, melainkan juga dalam hal cara berpikir yang telah berubah
secara radikal. Ada banyak cara berpikir yang berkembang, yang dimana telah
banyak mengubah lingkungan budaya, sosial dan rohani masyarakat kita. Berdasarkan
itu marilah melihat Trinitarian dari prespektif
angka tiga,sebab melalui angka tiga dipahami sebagai sintesis yang merangkul dalam
mengantarkan para pengikut ajaran kasih untuk memahami keberadaan yang Realitas
itu di dalam kehidupan bergaul dan memiliki rasa tanggung jawab dengan para
umat yang lain.
Kepustakaan
:
Bertens
, K .ETIKA. Jakarta : PT.Gramedia
Pustaka.2004 .
Brownlee,M
.Pengambilan Keputusan Etis Dan
Faktor-Faktor Di Dalamnya.Jakarta : BPK Gunung Mulia.2000.
Driver,Tom F.Christ in a changing World. London: SCM
Press Ltd.1981.
Hardiman,
F. Budi. Filsafat Moderen. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka.2007 .
Hendriks,Herman.Keadilan Sosial dalam Kitab Suci.Yogyakarta:
Kanisius.1990.
Keene.
Michael.Agama-Agama Dunia (terj).Yogyakarta: Kanisius.2006.
Schimmel,Annemarie.Misteri Angka-Angka Dalam Berbagai Peradaban
Kuno dan Tradisi Agama Islam, Yahudi,
dan Kristen (terj).Bandung:Pustaka
Hidayah.2006.
Smith,Huston.Agama-Agama
Manusia (terj) .Jakarta:Obor.2001.
Strathern,Paul.90 Menit Bersama Nietzche(terj).Jakarta:Erlangga.2001.
Tim Balitbang PGI.Meretas
Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia.Jakarta:BPK Gunung Mulia.1999.
Tjahjadi,
Simon Petrus L.Petualangan Intelektual.
Yogyakarta : Kanisius.2004.
“Sumber lain : catatan teologi
agama-agama dari dosen pengampu kuliah tersebut dalam kurun waktu
agustus-oktober 2010”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar