Selasa, 12 Agustus 2014

Hidup & Kehidupan Adrian Mamahit yang tidak pernah bulat…

Saya dilahirkan dalam keluarga Mamahit-Manahampy di Makassar yang dulunya dikenal dengan kota Ujung Pandang. Saya yang memiliki nama lengkap Adrian Mamahit, lahir dari keluarga yang  sederhana dengan nama orangtua Pelly Mamahit dan Nelly Manahampy. Anak kedua dari empat bersaudara ini menikmati masa Taman Kanak-Kanaknya di TK Frater Bakti Luhur dan melanjutkan Sekolah Dasar di SD Frater Bakti Luhur serta Sekolah Menengah Pertamanya di SMP Frater Tamhrin Makassar. Pada tahun 2003, saya melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMU Dian Harapan Makassar.

Dalam keluarga, saya dikenal sebagai anak baik yang pendiam dan pemarah walau demikian terkadang  saya sesekali menunjukkan keusilannya. Saya juga sering tidak sabar dalam menghadapi sesuatu, tidak mandiri dan ketika menginginkan sesuatu, ia harus mendapatkannya. Penggemar makanan pedis ini, sangat berpegang teguh pada pendiriannya, dan hal yang paling tidak disukainya adalah kebohongan. Kejujuran adalah hal yang penting baginya. Sedangkan hal yang paling disukainya ada olah raga sepak bola. Saya tidak pernah ketinggalan tentang informasi yang berhubungan dengan pertandingan sepak bola.
Saya pernah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pengacara, namun keinginannya itu tidak dikehendaki oleh-Nya sebab ketika melihat hasil ujian test menunjukkan bahwa nama Saya Mamahit tidak terdapat di daftar nama yang lulus di fakultas hukum. Setelah bergumul dan mengingat bahwa untuk menjalani kehidupan ini haruslah memiliki keinginan, dan keinginan Saya pada saat itu, mau didengar oleh banyak orang  maka pada tahun 2007, Saya melanjutkan studinya di perguruan tinggi STT Jakarta yang dimana akan mengantar Saya untuk bisa menjadi seorang pendeta. Selain itu juga Saya harus berpisah untuk sementara waktu dengan orang tua dan saudara-saudaranya yang ada di ada di Makassar.
Pada semester awalnya Saya cukup senang dan menikmati perkuliahannya karena merasa nyaman dengan lingkungan dan karena perpisahannya dengan keluarga membuatnya merasa bebas dan belajar untuk menjadi seorang pria yang mandiri dan bertanggungjawab.   Namun pada awal semester kedua, Saya mulai merasa tidak nyaman hingga mengakibatkan Saya sesekali ingin pindah melanjutkan studinya di tempat lain hal ini disebabkan karena mulai terasa bahwa STT memang beda dari sekolah pada umumnya. Hal yang sering membuat Saya tidak nyaman, karena banyak orang awam menilai bahwa orang yang bersekolah sebagai calon pendeta harus bisa memberikan teladan.
Namun dengan ketidakbiasaan itu Saya tetap menjalaninya sehingga ia telah dan mampu melalui masa-masa menjenuhkan itu dan sampai sekarang Saya masih menjalani perkuliahannya di STT Jakarta. Malah sebaliknya Saya kini mulai menikmati masa perkuliahannya yang diselingi dengan beberapa pengalaman praktek lapangan di beberapa tempat seperti di Cirebon, Lampung dan Manado.
Banyak hal yang telah dialami oleh Saya dari pengalaman-pengalaman prakteknya. Misalkan pada waktu praktek pertama di Cirebon, Saya di tempatkan di Fahmina Institute. Dimana famina Institut ini merupakan suatu LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan. Fahmina Institute ini sangat memperhatikan hal-hal yang sering dianggap tidak penting bagi kebanyakan orang. Dalam hal ini Saya mendapat pelajaran, bahwa Kasih Allah itu tidak terbatas karena melalui Institut ini sehingga Kasih Allah juga dapat dirasakan bagi orang-orang yang merasa diperlakukan tidak adil, misalnya bagi para pedagang yang digusur mendapat bantuan pembelaan berupa team pengacara yang disediakan oleh Fahmina Institute untuk memperoleh keadilan.
Pengalaman praktek di Lampung, tak jauh berbeda dengan praktek pertama, tepatnya di GPIB Jemaat Pancaran Kasih Lampung. Di CP 1, Saya mendapatkan seorang mentor yang merupakan alumni dari STT Jakarta yang bernama Pdt. Lefijandie R.J.Kembuan, S.Th. GPIB Pancaran Kasih terletak sangat jauh dari perkotaan atau dalam artian terletak di pedalaman Lampung Selatan. Hal ini membuat Saya mendapat pelajaran bahwa untuk memberitakan Firman Tuhan tidak memandang tempat sekalipun dipelosok daerah yang terpencil, dan untuk menjadi seorang pendeta harus memiliki komitmen yang tinggi.
Pengalaman CP kedua di Manado, tepatnya di Mondoinding Minahasa Selatan. Memerlukan 3 jam dari Bandara Sam Ratulangi untuk tiba di sana. Saya ditempatkan di GMIM Jemaat Zaitun Palelon Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan. Ditempat ini Saya banyak menimba ilmu bahwa di daerah yang mayoritas Kristen tidak lepas juga dari masalah. Sebab masalah yang sangat sering Saya temui di sana, adalah karena begitu banyaknya ilmu teologi sehingga mereka saling berebut anggota jemaat. Tak dapat disangkal pula bahwa terkadang mereka saling menjelek-jelekkan nama baik diantara mereka. Dalam hal ini Saya melihat bahwa pentingnya sebuah pendirian yang teguh dari para pemimpin-pemimpin ilmu teologi yang ada di sana untuk tetap menjaga kesatuan dan keharmonisan hubungan sesama umat kristiani.
Berdasarkan beberapa pengalaman saya tersebut, secara pribadi saya melihat kehadiran ilmu teologi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk itu harus di tekankan kepada umat Kristen bahwa mereka memiliki keterikatan antara fungsi sosial dan masa depanya. Hanya dalam kesetiaan ilmu teologi mendampingi dan mengarahkan umatnya dalam mengatasi masalah kemajemukkan ini, yang bisa membantu dalam mewujudkan  ilmu teologi yang mempunyai makna dan masa depan. Untuk itulah ilmu teologi sangat di perlukan orang kristen di tengah – tengah konteks yang majemuk. Masalah konteks kemajemukkan ini dapat di atasi apabila ilmu teologi tetap membuka dirinya bagi pembaharuan dan perkembangan ilmu teologi yang sebagai panduan untuk, mengembangkan spritualitas di tengah – tengah konteks kemajemukkan ini. Selain itu juga orang kristen dapat melihat perkembangan mengenai Tuhan lewat panggilan, penghayatan, serta juga dengan pemahaman.
Pangalaman-pengalaman yang telah diperoleh saya baik pada saat CP maupun keseharian di STT Jakarta, sangat memberikan dampak yang positif bagi diri saya secara pribadi. Dalam hal ini, saya terlatih untuk berpikir dan bertindak secara mandiri namun harus menjunjung tinggi nilai-nilai ouikumenis. Oleh karena itulah, selama saya hidup, selama itu pula kita harus terus belajar. Berdasarkan itulah ilmu yang saya dapatkan selama di STT Jakarta belumlah cukup, bahkan saya merasakan bahwa proses berteologi akan terus berlanjut sampai saya kembali menjadi tanah.

Oleh karena itulah, ketika kita dilahirkan dan dibesarkan di dunia yang fana ini, kita akan merasakan sesuatu yang harus kita penuhi yakni sikap kita dalam menggumuli segala sesuatu yang kita dapatkan di dunia yang fana ini. Oleh karena itulah, selama kita hidup selama itu pula kita harus terus belajar. Untuk itulah kita memerlukan pentunjuk jalan agar dalam menggumuli kehidupan ini kita tidak terjebak dalam kefanaan dunia ini,dan sebagai pengikut ajaran kasih kita harus menjadikan Alkitab sebagai pedoman kehidupan kita ini dalam menghadapi pergumulan kehidupan ini. Berdasarkan itulah kita harus menekuni Firman Tuhan,dan semoga pengharapan yang ada di hati kita ini terus berkobar sekalipun tantangan dan pergumulan datang silih berganti. Berteologi adalah suatu kegiatan para orang percaya dan beriman di dalam gereja, untuk itulah hakikat gereja dan iman Kristen itu mengharuskan orang berteologi sebagai umat Tuhan yang percaya dan mengimani kemahakuasaan Allah di dunia yang fana ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar