
Konfrensi Edinburgh merupakan salah satu penyokong dari gerakan
Oikumene. Dalam Konfrensi ini dihasilkan dua gerakan yaitu Gerakan Faith and order dan Life
and work. Faith and order yaitu gerakan yang berusaha mendaftarkan perbedaan
dan memperbandingkan dogma-dogma gereja dan ajaran gereja, tetapi juga berusaha
untuk mengusahakan sebuah teologi alkitabiah tentang kristus dan Gereja.[1]
Life and work yaitu gerakan bersama
yang menekankan diri pada kegiatan sosial gereja yang berdasarkan iman kristen
di bidang kemasyarakatan dan politik.[2]
Melalui Gerakan Faith and order
dan Life
and work gereja terdorong untuk menyatukan diri dalam suatu wadah.
Konferensi di
Edinburgh ada delapan pokok pembahasan yaitu, pekabaran injil di dunia; gereja
di lapangan pekabaran injil; pendidikan dan pengkristenan; berita Kristen dan
agama bukan Kristen; persiapan para pekabar injil; hubungan dengan Negara;
hubungan dengan pemerintah ; kerjasama dan kesaan.[3]
Namun penulis akan fokus terhadap tema yang kedua, gereja di lapangan pekabaran
injil . Missi gereja seharusnya dapat menghadirkan kasih kristus di dunia. Gereja
harus menyadari bahwa, Gereja tidak bisa menghadapi tantangan dunia ini dengan
kekuatannya sendiri. Oleh karena itulah, gereja haruslah mengkomuniskasikan dan
mengajak kepada setiap individu untuk
menciptakan suasana pertemanan[4]
agar tantangan di dunia ini dapat diatasi secara bersama-sama. Dalam hal ini
iman setiap individu sangat dibutuhkan, sebab iman diyakini mempunyai tugas
untuk menghimpun semua.
Gerakan Faith and order dan Life
and work, gerakan ini memberi sumbangsih kepada gereja untuk berkumpul dan
bersama-sama menjalankan satu misi yang sama. Melalui gerakan ini gereja menjadi
terpanggil untuk bersatu dalam keluarga besar. Gereja terpanggil untuk
melakukan gerakan Oikumene. Gerakan Faith
and order membuat gereja sadar akan pentingnya sebuah persekutuan. Gerakan Life and work membuat gereja sadar akan
pentingnya tugas pelayanan. Dan Gerakan Oikumene yang pertama (International Missionary Council)
membuat gereja sadar akan pentingnya sebuah kesaksian untuk menghadirkan
perdamaian.[5]
Gerakan Oikumene merupakan jawaban gereja
untuk menghadapi tantangan dunia. Dunia saat itu terpecah-pecah akibat perang.
Gerakan Oikumene adalah usaha gereja untuk membuktikan dirinya dapat bersatu
dalam satu misi tetapi tetap dalam keberagaman.[6]
Keesaan dalam gereja tetap dipertahankan dalam Oikumene. Keesaan dalam dokrin,
tata gereja dan ajaran dalam gereja merupakan kekayaan dalam Oikumene. Bersatu
bukanlah berarti haruslah memilki aspek yang sama, tetapi memilki tujuan akhir
yang sama dan missi yang sama. Arti kesatuan itu ialah, supaya umat menjadi
sempurna di dalam persekutuan dan supaya dunia mengetahui, bahwa Allah hadir
dalam Yesus.[7]
Dalam Gerakan Injili terdapat
semangat apostolik, ketika para orang percaya mencari kebenaran di dalam
Alkitab.[8]
Tanggapan para penginjil terhadap gerakan ekumenis adalah mengkritik gerakan
ekumenis yang individualistik dan mengabaikan aspek spritual.[9]
Melakukan kegiatan evangelical dianggap sebagai sesuatu yang urgen. Injil yang
diyakini menyimpan rahasia bagaimana seseorang harus hidup dan kematian
tentunya harus ditempatkan pada prioritas utama. Kritik yang ditujukan pada
gerakan ekumenis menunjukkan bahwa orang-orang tidak dapat dijangkau oleh upaya
menciptakan Kristen yang satu. Seperti yang telah diupayakan oleh para
reformator yang tidak membuat suatu doktrin gereja yang utuh melainkan
memperbaiki apa yang sudah ada. Tidak pada komunitas yang baru. Hal ini
disebabkan adanya harapan dari para reformator mengenai kesatuan umat Kristen.[10]
Pada masa sesudah para reformator, pandangan akan keesaan gereja ini
diteruskan dan diupayakan sehingga terbentuklah berbagai organisasi ekumenis.
Namun pada kenyataannya yang dihadapi pada masa mendatang berbeda. Apa yang
diharapkan oleh para reformator mulai menyimpang: khotbah dan
sakramaen-sakramen menjadi sesuatu hampa.[11] Sebagai contoh, Revolusi Prancis dapat menyadarkan kita
bahwa cita-cita adanya kesatuan umat Kristen sebagai sesuatu yang hanya dapat
diberlakukan pada masa lampau.
Wichern, ketua dari para misionaris mengatakan bahwa tujuan dari
penginjilan adalah untuk memenangkan kembali orang-orang yang hidup dalam
“keutuhan umat Kristen” namun berada dalam dosa. Orang-orang ini tidak dapat
dijangkau oleh gereja yang terorganisasi.[12] Kritik gerakan
evangelical terhadap ekumenis mengenai injil dinyatakan dengan slogannya yaitu
kembali kepada kemurnian injil. Gerakan ekumenis dianggap tidak lagi berpegang
pada landasan yang benar yaitu injil. Gerakan ekumenis
sibuk dengan urusan organisasi sehingga melupakan aspek spiritual yang penting
yang terkandung dalam injil tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
De Jonge,Christian.Menuju Keesaan Gereja.Jakarta:BPK Gunung
Mulia.1990.
Darmaputera, Eka. Berbeda Tapi Bersatu. Jakarta:BPK Gunung Mulia.1974.
Gairdner,W.H.T.Edinburgh 1910.Edinburgh & London: Oliphant, Anderson &
Ferrier.1910.
Hoekendijk,J.C. “The
Call To Evangelism” in Donald McGavran (ed.). The
Conciliar-Evangelical Debate: The
Crucial
Documents,1964-1976.California: William Carey Library.1977.
Sitompul, Ds. K. Masalah Keesaan Gereja. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Snaitang,O.L.A History of Ecumenical Movement: An
Introduction.Bangalore:National Printing Press.2004.
[1] Eka
Darmaputera.Berbeda Tapi Bersatu.(Jakarta:BPK
Gunung Mulia.1974).hlm:37.
[2] Ibid, hlm:38.
[3]
Christian,De Jonge.Menuju Keesaan Gereja.(Jakarta:BPK
Gunung Mulia.1990).hlm:10.
[4] W.H.T.Gairdner.Edinburgh 1910.(Edinburgh & London:
Oliphant, Anderson & Ferrier.1910.)hlm:108
[5] O.L.Snaitang,A History of Ecumenical Movement:An
Introduction.(Bangalore:National Printing Press.2004)hlm:114.
[6] Ibid.,hlm:107-108.
[7] Ds.
K. Sitompul. Masalah Keesaan Gereja.(Jakarta:
BPK Gunung Mulia). hlm:33.
[8] J. C.
Hoekendijk, “The Call To Evangelism” in Donald McGavran (ed.), The
Conciliar-Evangelical Debate: The Crucial Documents, 1964-1976 (California:
William Carey Library, 1977), hlm: 41.
[9] Ibid.hlm: 43
[11] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar